Find the Magic HERE!!!
Latest News

Imam Syafi’i

Sabtu, 02 Januari 2010 , Posted by Hasan Ismail at 08.13

A. Biografi Imam Syafi’i
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdilah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abas bin ‘Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muthalib bin ‘Abdul Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman jauh beliau, yaitu Hasim bin al-Muthalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’i kakek dari kakek beliau,-yang namanya menjadi penisbatan beliau (Syafi’i) menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’i, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah SAW. dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraisy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan dan menebus sendiri dirinya dengan menyatakan masuk islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa imam Syafi’i dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat kelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah aslli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’a saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Imam Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Beliau dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150. Pada tahun itu pula Imam Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Ketika berumur 10 tahun beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulai lenyap dan terlupakan.
Di Mekkah, Imam Syafi’i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu Al-Khaif. Disana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru rela tidak dibayar setalah melihat kecerdasan dan keceapatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “ Di Al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Al-Qur’an), saya melihat guru yang mengajar disitu membacakan muridnya ayat Al-Qur’an, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku ‘tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’”dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah belum lagi menginjak usia baligh, beliau menjadi seorang guru.
Setelah selesai menghafal Al-Qur’an di Al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram unttuk menghadiri majelis-majelis ilmu disana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalm menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma dan tulang unta untuk menulis. Dan itu terjadi pada saat beliau belum berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa belilau telah menghafal Al-Qu’ran pada usia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu Bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal didaerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefashihan dan kemurniaan bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telahn berhasil menguasai kefashihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa arab yang pernah berjumpa dengannya dan orang sesudahnya. Karena mendapat nasehat dari dua orang ulama yaitu Muslim bin Khalid Az-zanji (mufti kota Mekkah) dan Al-Husain bin Ali’ bin Yazid agar mendalmi ilmu fiqh, maka beliaupun untuk mendalaminya dan mulailah melakukan pengembaraanya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dari ulama-ulama di kotanya Mekkah, salah satunya Sufyan bin ‘Uyainah (ahli hadits Mekkah). Di Mekkah ini beliauu mempelajari ilmu fiqh, hadits, lughoh dan Muwaththa’ Imam Malik. Disamping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap Surat Al-Anfal ayat 60.
Setelah mendapat izin untuk berfatwa timbul keinginannya untuk ke Madinah, maka berangkatlah beliau ke sana menemui Imam Malik. Dihadapan Imam Malik, beliau meambaca Al-Muwaththa’ yang etlah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam awafat pada tahun 179 H. Disamping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya. Athaf bin Khalid, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf AL-Qadhi, serta yang lainnya. Namun, di Yaman inilah beliau mendapat cobaan (satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau). Nama beliau menjadi tenar karena sejumlah keagiatan dan keagigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinag pendudukn Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya keapada Khalifah Harun Ar-Rasyid, mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang Alawiyah.
Sebagaimana dalm sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa awal pemerintahan Bani Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah pada masa itu saeatiap khalifah dari Bani Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-oarang dari kalangan Alaawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakn orang-orang Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobaarkan pemberontakan membuatnya ditangkap dan di gelandang dalm keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang Alawiyah. Beliau bersama orang-orang Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan khalifah Harun Ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin Al-Hasan (ahli fiqh Irak), beliau berhasil meyakinkan khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghgdad.
Di Baghdad, beliau kembali kepada asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab ahli ra’yu untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepad Muhammad bin Al-Hasan juga kepada Ismail bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahab Ats-Tsaqofiy dan lain-lain. Setelah mendapat ilmu dari ulama Irak itu beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mualai dikenal. Mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar ketika musim haji tiba ribuan jama’ah datang keMekkah mereka yang atelah mendaengar nama beliaudan ilmu yang mengagumkan bersemangat mengikuti pelajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu diantara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Ketika kemasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kapadanya dan memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang Nasikh dan Manshukh dari ayat-ayat Al-Quran dan lain-lain. Maka beliaupun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih sembilan tahun belajar di Mekkah , beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalm menolong madzhab ash-habul hadits. Beliau menetap di Irak selama 2 tahun kemudian pada tahun 197 H beliau kembali ke Mekkah disana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datnglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi hanya berada setahun di Mekkah. Tahun 198 H, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan di sana karena telah terjadi perubahan politik. Karena perubahan itulah Imam Syafi’i memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kevilnay menolak pergi kesana, tetapi akhirnya ia menyerahkan diri kepada kehendak Allah. Di Mesir beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah dan menebar ilmunya, menulis sejumlah kitab termasuk merevisi kitabnya Ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya disana.
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam jum’at setelah sholat isya, hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Beliau dimakamkan di Qal’ah, yang bernama Mishru alqadimah.
B. Pola pemikiran, metode istidlal dan faktor-faktor yang mempengaruhi Imam Syafi’i dalam menetapkan Hukum Islam
Aliran keagamaan Imam Syafi’i, sama dengan Imam madzhab lainnya. Yaitu termasuk golongan Ahlu Al-Sunnah Wal Jama’ah. Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi kepada dua aliran yaitu ahlu al-Hadits dan ahlu al-Ra’yi. Imam Syafi’i termasuk ahlu al-Hadits, namun pengetahuan beliau tentang fiqh ahlu al-Ra’yu tetap memberikan pengaruh kepada metodenya dalam menetapkan hukum.
Pengetahuan Imam Syafi’i tentang sosial kemasyarakatan juga sangat luas. Beliau menyaksikan secara langsung baik kehidupan masyarakat desa maupun kehidupan masyarakat yang sudah maju peradabannya, juga kehidupan orang zuhud dan ahlu Hadits. Pengetahuan Imam Syafi’i dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan yang bermacam-macam itu, memberikan bekal bagi beliau dalam berijtihad pada masalah-masalah hukum yang beraneka ragam. Hal ini memberikan perngaruh pula pada madzhabnya.
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan yang dikenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya yang bernama Al-Hujjah yang dicetuskan di Iraq, sedangkan Qaul Jadid terdapat dalam kitab Al-Umm yang dicetuskan di Mesir. Keadaan di Iraq dan di Mesir berbeda sehingga membawa pengaruh terhadap pendapat-pendapat dan ijtihad Imam Syafi’i.
Pegangan Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan Imam Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah:
“tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya, ini halal, ini haram, kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu adalah kitab suci Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.”
Pokok-pokok pikiran beliau dalam mengistinbatkan hukum adalah:
 Al-Qur’an dan Sunnah
Imam Syafi’i meletakan sunnah Rasul SAW bersama Al-Qur’an pada tingkat yang sama, karena kebanyakan fungsi sunnah adalah memerinci sesuatu yang tertera secara garis besar di dalam Al-Qur’an. Beliau meletakan Sunnah bersamaan Al-Qur’an, dengan syarat apabila sunnah tersebut berderajat shahih. Kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir. Disamping itu, karena Al-Qur’an dan Sunnah adalah wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat Al-Qur’an.
Imam Syafi’i walaupun berhujjah dengan hadits ahad, beliau tidak menempatkannya sejajar dengan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, karena hanya Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir sajalah yang Qath’iy tsubutnya, (yang dikafirkan orang yang mengingkarinya dan disuruh bertaubat).
Syarat-syarat diterimanya haduts ahad menurut beliau:
a) Perawinya haruslah seorang yang secar zahir mempunyai kepatuhan terhadap ajaran agama dan dikenal sebagi orang yang jujur.
b) Harus seorang yang berakal sempurna dan faham akan riwayat yang diutarakannya hingga ia bisa mengetahui penggunaan kata serta ungkapan-ungkapan dalam bahasa arab sesuai dengan maknanya.
c) Harus mempunyai ingatan yang kuat, sehingga ia mampu meriwayatkannya sesuai dengan redaksi hadits yang di dengarnya.
d) Seorang perawi harus mendengar sendiri riwayat yang di dapatnya dari perawi lain.
e) Hadits yang diriwayatkan tidak bertentangan dengan riwayat para ulama dalam permasalahan yang sama.
 Ijma’
Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijma’ adalah hujjah, beliau menempatkan ijma’ ini sesudah Al-Qur’an dan Sunnah, sebelum Qiyas. Imam Syafi’i menerima Ijma’ sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Ijma’ menurut pendapat Imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia islam, bukan ijma suatu negeri saja dan bukan pula ijma’ kaum tertentu saja. Imam Syafi’imengakui, bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.
Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah ijma’ yang disandarkan kepada Nash atau ada landasan Riwayat dari Rasulullah SAW. secara tegas beliau mengatakan bahwa ijma’ yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma’ sahabat.
Imam Syafi’i hanya mengambil ijma’ Sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma’ sukuti menjadi dalil hukum. Alasan beliau adalah karena kesepakatannya disandarkan kepada Nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas, Sehingga tidak mengandung keraguan. Sedangkan alasan beliau menolak ijma’ sukuti adalah karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.
 Qiyas
Imam Syafi’i menjadikan qias sebagai hujjah dan dalil keempat setelah al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dalam menetapkan hukum.
Sebagai dalil penggunaan qiyas, Imam Syafi’i mendasarkan pada firman Allah:



...Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah {Al-Qur’an) dan kepada rosul (sunnah)... QS. An Nisa’ : 59.
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan RosulNya“ itu adalah qiyaskanlah keapada salah satu dari Al-Qur’an atau As-Sunnah.
Imam Syafi’i menyatakan bahwa tdak setiap orang dapat mempergunakan qiyas sebagai salah satu metode istinbat hukum. Seseorang yang menggunakan qiyas haruslah memenuhi syarat- syarat tertentu dan yang tidak memenuhinya tidak boleh melakukan qiyas. Syarat-syarat itu adalah:
a) Mengetahui bahasa arab
b) Menguasai hukum- hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an
c) Mengetahui ketetapan-ketetapan Allah terhadap kaum- kaum terdahulu. Mengetahui perkataan para ulama’ salaf, ijma’ umat iskam dan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mereka
d) Memiliki kemampuan intelektual yang cukup baik

C. Karya-karya Imam Syafi’i
a) Kitab Ar-Risalah, tentang ushul fiqh
b) Kitab Al-Umm
c) Kitab Al-Musnad
d) Al-Imla’
e) Al-Amaliy
f) Harmalah
g) Mukhtashar Al-Muzaniy
h) Mukhtasar Al-Buwaithiy
i) Kitab Ikhtilaf Al-Hadits
j) Al-Hujjah

D. Guru-guru dan murid-murid Imam Syafi’i:
• Guru-guru beliau diantaranya:
1) Di Mekkah
 Muslim bin Khalid Az-Zanji
 Isma’il bin Qusthantein
 Sofyan bin ‘Ujainah
 Sa’ad bin Abi Salim Al Qaddah
 Daud bin Abdul Rohman Al ‘Athar
 Abdul ahmid bin Abdul Aziz
2) Di Madinah
 Imam Malik bin Anas
 Ibrahim ibnu Sa’ad Al Anshariah
 Abdullah bin Naf’i
3) Di Yaman
 Mathraf bin Mazin
 Hisyam bin Abu Yusuf Qadli Shan’a

4) Di Iraq
 Waki’ bin Jarrah
 Humad bin Usamah
 Abdul Wahab bin Abdul Majid

• Murid-murid beliau dianataranya:
 Abu Ali Al Hasan Al Shabah Az Za’faran
 Husin bin Ali Al Karabisi
 Imam Ahmad bin Hanbal
 Ar Rabi’ bin Sulaiman Al Muradi
 Abdullah bbin Zubair Al Humaidi

E. Perkembangan dan penyebaran madzhab Syafi’i
Penyebaran madzhab Syafi’i ini antara lain di Iraq lalu berkembang dan tersebar ke Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman , Persia, Hijaz, India, daerah-daerah Afrika dan Andalusia sesudah tahun 300 H. Kemudian madzhab ini tersiar dan berkembang bukan hanya di Afrika tetapi keseluruh pelosok negara-negara islam ,yang dibawa oleh para murid dan pengikutnya dari satu negeri ke negeri yang lain, termasuk Indonesia.




Currently have 0 comments:

Leave a Reply

Posting Komentar